Assalamu'alaikum ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  Nurisfm Network
Naskah tentang Ilmu Agama Islam dalam media ini diambil dan disusun dari berbagai sumber. Tidak tercantumnya sumber dan penulis, bermaksud untuk penyajian ilmu yang 'netral' semata. Mudah-mudahan menjadikan amal baik bagi penulisnya dan mendatangkan kebaikan bagi sesama. Kelemahan dan kekurangan serta segala yang kurang berkenan dihati mohon dimaafkan. Apabila ada pihak yang keberatan atau merasa dirugikan dimohonkan menghubungi Admin (Abu Azka). Dan untuk naskah-naskah ilmu pengetahuan umum, Insya Allah akan dicantumkan sumber dan atau penulisnya. Mohon Maaf sebelumnya, sekian dan terima kasih ^-^

Where Is The Friend's Home? (1987)

Written By Rudianto on Sabtu, 15 Maret 2014 | 23.36

Sebenarnya saya bingung mau memulai darimana karena sudah setengah tahun ini saya tidak mereview film, alasannya klasik karena lupa nama web blog saya sendiri hahaha, sekarang saya kembali dengan mereview salah satu film paling sederhana dari seorang Abbas Kiaorostomi yang tak kalah bagus dengan karya-karyanya yang lain semisal Close-Up, Taste of Cherry ataupun The Wind Will Carry Us yang semuanya berbobot namun tidak ringan seperti film yang saya ulas ini, mungkin film Where is the Friend's Home? adalah satu-satunya film Abbas yang paling akrab untuk ditonton anak-anak, bukan karena film-film beliau yang lain ada konten dewasanya, walaupun saya sendiri belum menonton semua film-film beliau, tapi karena memang film yang saya review ini mempunyai cerita yang paling sederhana namun memiliki nilai edukasi tinggi, filmnya sendiri juga hanya berdurasi 1 jam 19 menit lebih dan hanya berkutat pada karakter Ahmed(diperankan Babek Ahmed Poor) yang ingin mengembalikan buku teman satu sekolahnya yaitu Mohamed Reda Nematzadeh (diperankan oleh Ahmed Ahmed Poor) yang terbawa olehnya, sebelumnya di awal film kita diperlihatkan adegan dimana Nematzadeh dimarahi gurunya sampai menangis karena sudah 3 kali ia mengerjakan pr bukan di buku tugasnya, dan karena disebabkan karena hal tersebutlah Ahmed menjadi bertekad mengembalikan buku sahabatnya tersebut padahal Ahmed tidak tahu rumah temannya tersebut, dan hanya tahu nama daerah tempat temannya itu tinggal

    Ahmed pun rela menempuh jarak yang jauh demi bisa mengembalikan buku sahabatnya tersebut, menaiki bukit-bukit, melewati pemakaman sepi yang selalu ramai dengan suara burung gagak, berlari, dan dengan polosnya bertanya kepada orang-orang yang lewat, tapi hanya kesia-siaan yang ia dapat, Ahmed yang berusia 8 tahun pun selalu bertanya pada orang yang ditemuinya tetapi tak jarang ketidak perdulianlah yang kerap ia terima, pada awal mulanya, saat adegan sang guru yang memarahi Nem (disingkat biar gak capek ngetiknya :D ) yang terus mengulang-ulang pertanyaan meski Nem telah berkata jujur atau ketika ibu Ahmed terus menyuruh Ahmed belajar meski Ahmed sudah mengatakan harus mengembalikan buku temannya dan sang ibu tidak perduli, saya mengira ini adalah film tentang ketidak perdulian orang dewasa terhadap anak-anak (bahasa jowone ngeremehno :D ) tapi setelah di seperempat akhir film ketika ada seorang anak yang kebetulan bernama sama dengan Nem yang karena tak mengenal Ahmed tidak memperdulikan Ahmed dan pergi begitu saja, saya jadi mengerti, film ini sebetulnya tentang keacuhan orang lain terhadap orang yang tidak dikenal, karena adegan sang ibu yang seakan tidak perduli, sebetulnya intinya adalah, sang ibu perduli, namun hanya dengan nasib Ahmed sang anak, namun sang ibu acuh terhadap teman sang anak yang bukunya terbawa anaknya, toh siap juga dia, dia toh orang lain bukan anaknya? betul kan :D?

    Adegan keacuhan itu semakin kental ketika Ahmed tidak diperdulikan ketika ia bertanya pada orang-orang dewasa meski ia sudah mengeraskan suaranya berkali-kali, bukan karena Ahmed anak-anak tapi memang karena ia memang tidak dikenal,  disini pun kita bisa mengerti bahwa sebetulnya orang dewasa terkadang memiliki pemikiran yang salah, semisal ketika seorang kakek yang kebetulan mengenal Ahmed menyuruh Ahmed untuk mengambilkan roti, padahal Ahmed sudah berkali-kali mengatakan ia terburu-buru ingin mengembalikan buku temannya, sang kakek berkata pada kawannya, hal itu dilakukan untuk edukasi karena ia pernah dididik oleh orang tuanya saat kecil dengan cara seperti itu, edukasi macam apa itu? yah meskipun saya sendiri tidak begitu sepenuhnya mengerti dengan filosofi sang kakek karena subtitles film seluruhnya berbahasa inggris, dalam film ini kita juga diajarkan bahwa anak-anak yang polos lebih mempunyai semangat yang luar biasa ketimbang orang dewasa, yaitu adegan dimana ketika Ahmed mendengar secara tidak sengaja, bahwa salah satu orang dewasa yang ia tanyai ternyata bermarga Nem juga, Ahmed pun mengira orang tersebut adalah ayah sahabatnya, dan Ahmed mengejar orang dewasa tersebut tanpa lelah, meski kesia-siaan yang ia dapat karena Nem yang ia temui bukan sahabatnya melainkan Nem yang lain.

    Di tengah-tengah semua keacuhan tersebut di tengah malam, di disktrik yang jauh dari rumahnya, ternyata masih ada seseorang yang perduli, ia adalah seorang kakek tua pembuat jendela dan pintu, yang mau mengantarkan Ahmed ke rumah Nem walaupun akhirnya Nem yang dimaksud sang kakek ternyata adalah orang lain, disini mungkin kita diingatkan bahwa keperdulian sudah semakin tua dan lelah dimana kita diperlihatkan adegan sang kakek yang berjalan lamban dan kelelahan, dan disini kita juga diperlihtatkan bahwa keperdulian sudah sangat jarang, karena sepanjang film hanya kakek itulah yang mau perduli dengan Ahmed dan disini kita juga diperlihatkan seolah-olah keperdulian itu sudah ditinggalkan oleh rasa-rasa yang lain terutama keegoisan dan keacuhan manusia, dimana diperlihatkan sang kakek tinggal sendiri di rumahnya, sebuah metafora atau para kritikus biasa menyebutnya bahasa puisi film yang baik, bagi yang penasaran silahkan tonton filmnya karena saya tidak akan memberi tahu bagaimana akhir filmnya disini :D

Well Overall saya beri nilai film ini 7,3/10  
Atau Bagi Pengunjung yang ingin memiliki DVD nya bisa menghubungi Admin

Sumber Review

0 komentar:

Posting Komentar